Kajian atas Faktor Mendasar dari Studi Agama

By RENO AZ

Abstrak

Agama sebagai sebuah keyakinan yang hingga kini terus dibahas dan diperdebatkan, kerap menimbulkan persinggungan antarperadaban-hampir disetiap era dan perikehidupan manusia. Sudah begitu banyak ulasan dan hasil penelitian yang dilakukan dari agama-bagama besar dunia, termasuk Islam, tapi bahkan hingga kini pun, kita masih tetap bersilangsengkarut aregumen, apakah dunia akan lebih aman dan damai dengan adnya agama, atau malah sebaliknya? Untuk meramaikan pembicaraan seputar agama itu, dalam tulisan ini, kami akan menyertakan beberapa kata kunci yang bisa diikutkan dalam kajian tentang agama.

Apakah studi agama itu mungkin?

Kemungkinan untuk membuat sebuah studi tentang agama, sebenarnya sangat terbuka dan bisa saja dilakukan dengan menggunakan berbagai kerangka metode yang dibutuhkan. Hanya saja, kami ingin mengajak pembaca untuk menjawab beberapa pertanyaan mendasar berikut ini; kenapa mesti ada studi tentang agama? Untuk dan atas kepentingan apa sehingga studi tentang agama dirasa perlu? Apakah selama ini agama tak bisa terpahami dengan baik, sehingga dibutuhkan penelaahan ulang atasnya? Atau jangan-jangan, ada faktor luaran yang menyebabkan urgensi studi agama itu dilakukan? Seperti dengan maraknya perselisihan umat beragama dalam skala global-seperti kalangan pemeluk Hindu dan Muslim yang terus berjibaku memertahan kebenaran masing-masing.

Selama ini, bahkan sejak masih kecil, kita kerap dan tekun belajar memahami agama sendiri. Tapi menurut kami, hal ini akan menjadi berbeda jika frase yang kita gunakan adalah “studi agama”. Karena terkait dengan persoalan yang pertama, hal itu lebih bersifat internal dan bertujuan untuk mengukuhkan keyakinan kita kepada agama yang dianut. Sedang pada persoalan yang kedua, lebih bersifat penelusuran mendalam yang menjeluk, dan biasanya bisa dilakukan lintas sektoral dan bersilangan, tergantung kebutuhan apa yang ingin dipenuhi.

Berbicara soal agama, sudah pasti terkait dengan keimanan dan konsekuensi logisnya adalah, mencuatnya subjektifitas ke permukaan. Agama memang dan harus terkait dengan keimanan. Keduanya menjadi identik. Tapi ada beberapa penjelasan yang bisa digunakan untuk menunjukkan bahwa keduanya juga dapat berdiri sendiri-sendiri. Sebagai sebuah “bangunan” per se, agama jelas berdiri secara independen. Ia tak membutuhkan faktor luaran untuk memberikan pembenaran-ipso facto. Ia eksis dalam dirinya sendiri. Agama merupakan suatu panduan dari prinsip-prinsip universal dan perwujudan lokal. Pertama, jika ditampilkan dan dijelaskan, berbicara kepada manusia sebagai manusia, terlepas dari ruang waktu dan hidupnya. Kedua, satu panduan yang kaya dari mitos dan ritus, tidak mungkin dapat menyusup ke dalam alam emosional orang lain dan hany dapat dipahami dengan bantuan seorang penyair atau ahli antropologi yang berpengalaman. (Huston: 2001, 5)

Sedang keimanan, tak pelak membutuhkan agama sebagai modanya. Tanpa agama, takkan ada keimanan. Karena struktur yang diberikan oleh agama, adalah syarat bagi munculnya sebuah keimanan. Menurut amatan kami, keimanan pulalah yang menjadikan agama sebagai accumulative tradition. Satu keseluruhan massa data objektif yang merupakan “kandungan historis” dari kehidupan relijius pada masa silam: kuil-kuil, kitab suci, sistem teologi, pola-pola tari, institusi legal dan sosial lainnya, konvensi, kode moral, mitos, dan seterusnya; segala sesuatu yang dapat dan memang dialihkan dari satu orang, satu generasi, ke orang atau generasi lain, dan yang dapat diamati oleh sejarahwan. (Smith: 2004, 269). Indikator inilah yang kemudian terakumulasi dan membuat agama itu diyakini sepenuhnya dalam satu keyakinan.

Berbicara tradisi akumulatif, kami akan menyertakan satu konstruk agama yang berasal dari ranah tradisional. Seperti agama yang diyakini oleh bangsa Maya-Inca-Aztec di Amerika Latin. Dalam tradisi akumulatif mereka, kita menemukan adanya sebuah ritual yang kerap dilakukan sebagai persembahan kepada Dewa Matahari. Bagi mereka, tak ada yang salah dengan tradisi ini. Karena apa yang mereka lakukan, dipercayai sebagai satu upaya untuk beribadah dan menyenangkan “hati” para Dewa. Juga ditambah dengan harapan agar hidup mereka dijauhkan dari bencana yang akan ditimpakan jika ritual itu tak mereka lakukan.

Jika bentuk tradisi kumulatif ini kita kaitkan dengan humanisme masyarakat modern, maka akan muncul satu masalah yang biasanya berbunyi, bahwa bangsa Maya-Inca-Aztec adalah sekelompok masyarakat primitiv yang tak mengenal kode moral universal-bahwa semua manusia bebas hidup seperti yang diinginkannya, dan bukan dipaksa untuk mengakhiri hidupnya atas pengaruh luaran yang sifatnya adikodrati. Tapi jika kita mengaitkan pandangan kaum humanis ini dengan euthanasia, maka apa yang mereka yakini itu segera tak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.

Di titik persinggungan inilah, segelintir akademisi menganggap bahwa studi agama itu jelas sangat dibutuhkan. Dengan tujuan untuk mendamaikan perbedaan pandangan dan menyelaraskannya dalam tindakan. Studi agama, akan membantu mereka yang tidak memahami apa yang dilakukan dan diyakini bangsa Maya-Inca-Aztec, misalnya, dengan melakukan penelitian mendalam terhadap semua tradisi kumulatif mereka, dan menjelaskan duduk perkara yang sebisa mungkin objektif. Sehingga akhirnya, dihasilkan satu pemahaman yang akan mengantarkan setiap pemeluk agama untuk melihat keluar dari agama sendiri, bahwa semua agama juga memiliki alasan logis dan non-logisnya masing-masing.

Agama yang berubah menjadi satu keyakinan yang terpatri dalam benak dan hati pemeluknya, sampai kapanpun memang akan tetap berlaku subjektif. Hanya si penganut dan Tuhan sajalah yang tahu apa yang diyakininya itu. Tapi, studi agama bukan memasuki wilayah itu dengan cara yang tidak elegan. Justru, studi agama berusaha mendedah alasan-alasan rasional dan non-rasional sebuah agama, sehingga muncul keyakinan dari para pemeluknya dan menjadikan agama itu sebagai sebuah tuntunan yang diyakini dapat mengantarkan mereka kepada Kebenaran Absolut.

Jika muncul pertanyaan apakah akal dan keimanan bisa dipertemukan, maka menurut kami jawabannya adalah, ya. Dalam Islam misalnya, ada banyak sekali ayat yang mengurai betapa penggunaan akal sangat dianjurkan. Seperti ayat yang berbunyi, “Jangan pikirkan Zat-Ku, tapi pikirkanlah ciptakan-Ku.” Kecenderungan ini, bukan hanya terdapat dalam Islam, tetapi juga di semua agama manusia. Menurut kami, agama yang tidak rasional, adalah agama yang gagal memanusiakan manusia. Karena secara alami, manusia adalah makhluk yang rasional.

Meski jika ditelisik lebih dalam, tak semua ajaran agama bisa dirasionalkan. Ada banyak sekali contoh tentang hal ini; aeperti kenapa shalat harus lima waktu. Jawaban yang biasanya kita dapat adalah, pertanyaan itu tak perlu dijawab karena menjadi bagian dari perintah yang harus dijalankan, sebagai konsekuensi kehambaan (taklifi). Untuk bisa mendapatkan pengertian lebih lanjut, kita dapat menggunakan mistisisme yang lebih bersifat esoteris. Konsep akal yang dikembangkan dalam mistik Islam, berbeda sekali dengan apa yang ada di wilayah eksoterik.

Akal dalam tradisi mistik, bersifat reseftiv dalam menerima limpahan Wahyu dan Pengetahuan Ilahi. Ia akan tetap berada dalam ketakterbatasan, selagi kita tidak mengoperasikannya. Tapi bila kita mengaktifkannya, maka seketika itu juga ia (baca: akal) menjadi terbatas dan akan menimbulkan serentetan masalah dalam pemahaman. Jadi posisi akal sebagai salahsatu fakultas untuk mencapai kebenaran, diletakkan dalam posisi yang pasif. Hal ini dilandasi oleh posisi kebermakhlukan yang diyakini kalangan mistik Islam, sebagai penerima hadiah eksistensi dari Al-Haq.

Tapi bedanya, akal dalam mistik, bukan panduan utama bagi kalangan mistikus untuk memeroleh satu keyakinan. Karena akal yang sering diagung-agungkan kalangan filosof, dianggap kaum sufi tak akan mampu menjelaskan dan mengantarkan kita pada Cahaya Kebenaran. Bagi mereka, Intuisi-lah yang sebenarnya harus diaktifkan, dan untuk bisa sampai pada tingkatan ini, dibutuhkan laku spiritual tertentu, yang biasanya bersifat sangat personal. Itu kenapa akhirnya, meski agama juga sudah rasional, tetap saja akan muncul masalah dari para penganutnya, terkait dengan pemahaman akal dari setiap pelaku agama. Contoh termudah untuk hal ini adalah, perdebatan sengit antara Mu’tazilah dan Asy’ariyyah di Abad ke-8 H, yang bekasnya hingga kini masih terasa.

Berdasar pada penjelasan di atas, kami lebih memilih berada di posisi akhir-yaitu, bagaimana keimanan didapat dengan bantuan intuisi, seperti yang lazim diajarkan oleh para gnostik. Kita tak dapat mengatakan bahwa apa yang dialami oleh ahli mistik itu sebagai satu pengalaman subjektif. Karena apa yang mereka lihat melalui bantuan kasyaf bentuk dan makna itu, adalah proses penampakan yang sama, dan hanya berbeda pada wilayah pembahasaan saja. Ini dikarenakan, bahasa manusia yang terbatas, harus membahasakan sesuatu yang tak terbatas.

Sejenak, kita akan beralih pada bagaimana akal bisa berhubungan antara agama dan sains. Seperti yang sudah dijabarkan di atas, perihal akal yang akan berimbas pada keimanan, sains dan agama memang kerap menimbulkan pertentangan yang hingga kini masih saja terjadi. Untuk memudahkan pembahasan, kami meminjam analisa dari John F. Haught, yang mengetengahkan empat pendekatan yang mungkin bisa dilakukan untuk memertemukan keduanya; pertama, pendekatan konflik, yang meyakini bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujukkan; kedua, pendekatan kontras, yang menekankan bahwa tak ada pertentangan yang akut antara keduanya, karena sains dan agama memberi tanggapan untuk masalah yang berbeda; ketiga, pendekatan kontak, yang mengupayakan sebuah pendekatan dengan melakukan kontak, dialog, interaksi dan kemungkinan adanya “penyesuaian” antara sains dan agama, terutama mengusahakan cara bagaimana sains bisa ikut memengaruhi pemahaman relijius dan teologis; keempat, pendekatan konfirmasi, yaitu sebuah perspektif yang lebih tenang, tetapi sangat penting, dengan menyoroti cara-cara agama, pada tatarannya yang mendalam, mendukung dan menghidupkan segala kegiatan ilmiah.. (Haught: 2004, 1-2).

Dengan empat pendekatan yang disusun oleh Huaght di atas, menurut kami, sampai kapanpun tetap akan muncul persoalan antara sains dan agama. Ini lebih didasari karena keduanya menggunakan epistemologi yang berbeda sebagai sumber. Agama diyakini oleh para saintis, lebih kental dengan wilayah a priori, yang mengakibatkan munculnya keimanan melakui pentransmisian kitab suci dan tradisi suci lainnya yang diwariskan oleh para Nabi. Sedangkan sains, lebih memercayai ranah a posteriori yang ujungnya adalah kecenderungan untuk mengobjektifikasi segala sesuatu melalui bantuan panca indera. Di titik inilah, mencuat masalah besar yang berakibat pada “matinya Tuhan” dalam pemahaman para saintis.

Namun kenyataan ini tidak serta-merta ingin mengatakan, bahwa tak ada saintis yang beragama, atau agama yang tidak mau berkompromi dengan sains. Kenyataan yang terjadi, juga banyak saintis yang beragama, dan agama sangat menjunjung tinggi sains. Islam sekali lagi berada di matriks ini. Jadi sebenarnya, persoalan yang mesti dipahami adalah, bagaimana akal yang menjadi penghubung antara keduanya, bisa dioperasikan sebaik mungkin untuk mengantarkan pada pemahaman yang disebabkan oleh rasa “lapar purbani”, yaitu kecenderungan untuk mendekati Kebenaran. []

Beberapa fungsi agama

Berdasar pada amatan kami yang mungkin masih bisa dikoreksi, kami akan menyertakan beberapa fungsi yang terkait erat dengan keberadaan agama itu sendiri. Pertama, Kami menengarai bahwa fungsi agama yang paling ultim adalah jalan Spiritual. Setiap agama pasti menyediakan jalan ini bagi pemeluknya-yang uniknya tersedia dengan cara yang beragam dan dapat dipilih oleh para penganutnya sesuai dengan apa yang mereka sanggupi-Islam adalah satu diantara sekian banyak agama yang menyediakan jalan ini dengan cara seperti yang dijelaskan tadi.

Jalan Spiritual yang kami maksud di sini, tentu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh masing-masing agama. Meski sejatinya, setiap wilayah Spiritual memiliki kesamaan secara esoterik, meski dihasilkan dari bangunan eksoterik yang berbeda-beda. Schuon menamakan model seperti ini sebagai; perbedaan antara hakikat dan perwujudan antara agama-agama. Dalam wilayah eksoterik, setiap agama tentu memiliki tuntunannya sendiri untuk mengarahkan para pemeluknya menuju ke wilayah Spiritual. Sedang dimensi Spiritual yang dituju, adalah wilayah yang sama walau diberi penamaan yang berbeda-beda.

Pembahasaan ini lazim dilakukan oleh penganjur perrenial. Para gnostik yang menggelutinya seperti Rene Guenon, Schuon, Burckhhardt dan lainnya berusaha mencari titik temu yang harusnya bisa menjadi pijakan dasar bagi para pemeluk agama-khususnya agama Ibrahimi. Tapi dari sudut pandang perrenial, tak ada agama tradisional ataupun Ibrahimi, karena pada kenyataannya, semua agama adalah jalan menuju Kebenaran Absolut. Kita memang akan sulit menemukan kandungan esoterik ini secara baik, jika kita tidak masuk ke dalam tradisi agama yang sarat unsur esoteriknya. Seperti tradisi kabbalis dan mistisisme  dalam Islam.

Fungsi agama yang lain, juga bisa sebagai tuntunan moral. Bagian ini memang hampir tak bisa dinafikan, karena tak ada satu pun agama yang tidak mengajarkan tuntunan moral kepada para penganutnya. Secara universal, setiap kejahatan akan selalu mendapat tempat di “pinggiran agama.” Semua yang berkaitan dengan moral, memang tak melulu diproduksi oleh agama. Karena hukum moral, juga bisa dihasilkan dari penerapan maksim universal separti yang dilakukan oleh Immanuel Kant. Namun setidaknya, kita-kitab suci agama-sekali lagi masuk ke dalam tradisi kumulatif, juga menyediakan pelajaran moral yang diangkut langsung dari luar dunia.

Pengajaran tentang moral ini, juga dianggit dari adanya ajaran yang menyangkut kehidupan setelah mati, dan bagaimana setiap perbuatan kita kelak harus dipertanggungjawabkan. Seperti hari pembalasan yang ada dalam ajaran Islam. Dengan ini, setiap umat beragama menjadi berhati-hati untuk bertindak dalam hidupnya. Karena ada pertimbangan-pertimbangan teologis yang mesti dicamkan terlebih dulu, sebelum mereka melakukan tindakan di dunia fana ini. Jika dikaitkan secara langsung, tuntunan moral dari agama inilah yang menyebabkan kehidupan manusia bisa menjadi harmonis. Sayang sekali, hal ini jarang bisa dimengerti  dengan baik oleh kaum skeptis dan agnostik di Barat, yang kerap menuduh agama sebagai sumber konflik di dunia..

Fungsi agama yang lain, adalah sebagai pandangan dunia. Sebuah pola pandangan yang membuat seseorang yang beragama menjadi memiliki satu penglihatan terhadap dunia via agama yang dianutnya. Sebagai contoh antara Islam dan Budha. Dalam Islam, kaum Muslim diberikan kebebasan untuk memilih atas apa yang berkaitan dengan hidup dan kehidupannya. Dengan kata lain, Islam menjadikan umatnya sebagai individu yang bebas, dengan sebuah jaminan, bahwa kebebasan memilih yang telah diberikan, harus menghasilkan satu konsekuensi logis yang mengarah pada kebaikan.

Berbeda halnya dengan agama Budha. Pandangan dunia yang diberikan kepada kuam Budhis adalah sebuah kemungkinan hidup yang melulu harus dijalankan dengan laku batin yang cenderung “menyiksa” diri sendiri. Sehingga Budha sebagai agama, terkesan menciptakan sekelompok manusia yang muram terhadap hidupnya. Malah terkadang jauh dari hiruk-pikuk dunia yang kian merosot semangat Spiritualnya. Perkara ini, hanya mengikutsertakan dua agama saja sebagai contoh. Masih banyak lagi kasus lain yang bisa diikutsertakan dalam bahasan kita.

Jika dengan rangkaian posisi fungsi di atas, kami lebih memilih berada pada posisi bahwa agama itu berfungsi sebagai satu pandangan dunia yang di dalamnya  tercakup, pola pikir, tingkah-laku, aturan moral, kaidah dan tuntunan hidup yang bersifat partikular-universal. Sehingga hal ini dapat menjadi tolok ukur bagi para penganut agama untuk membuat hidupnya berada dalam jalur yang memang telah dipilihnya-bebas bertindak, kemuraman, kesalehan sosial-personal, dan lain sebagainya. []

Wacana tentang agama dan sekularisasi.

Berbicara tentang dua subjek pembahasan di atas, secara logis kita mesti menghubungkan keduanya dalam bingkai agama dan politik. Sebelum kajian ini dilanjutkan, terlebih dulu kita mencari sangkut-paut tentang apakah agama memang mengandung unsur politis di dalam dirinya. Jika ditelusuri lebih teliti, di dalam al-Qur’an, memang terdapat pesan implisit-eksplisit tentang adanya aturan politik-yang berkenaan dengan pengaturan ummah dalam konteks keberagaman dalam masyarakat. Hal ini tak dapat kita nafikan. Tapi perlu diingat, bahwa keterangan ini tak bisa dijadikan acuan bahwa agama itu politik, dan politik bisa berkorelasi dengan agama. Keduanya mungkin atau bahkan tak bisa bersandingan, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Iran dan Indonesia, adalah dua contoh terdekat dengan bahasan ini.

Sejatinya, wacana tentang sekulari tak meti digaungkan secara berlebihan. Kita mesti ingat, bahwa kasus ini bertalian dengan kondisi awal kemunculannya di Eropa-Prancis khususnya, saat kaum agamis berdebat sengit dengan kalangan ilmuwan. Sehingga pengelolaan negara teokrasi, segera digantikan dengan sekularisasi. Kasus seperti yang dialami oleh Turki, menurut kami adalah contoh yang tepat dengan apa yang kami maksud “konflik sengit kaum agama dengan ilmuwan” yang berujung pada kekalahan agama.

Bagi kami, negara bisa saja berdiri di atas landasan agama seperti Arab Saudi, Iran dan Indonesia. Tapi, yang harus diingat, tak boleh ada penyeragaman, karena agama jelas tergantung pada individu yang menganutnya. Sayangnya, hal ini sulit sekali untuk dilakukan, meski dalam satu negara yang masyarakatnya homogen sekalipun. Karena pertanyaan mendasar yang bisa kita ajukan adalah, kepersonalan agama, tak bisa diatur oleh sekelompok orang yang kemudian menjadi pemegang otoritas tunggal. yang berpijak di atas ideologi kenegaraan.

Penjabaran tentang ini, bisa kita kaitkan dengan kecenderungan agama yang bersifat fundamental. Celakanya, kecenderungan ini malah berubah menjadi isme yang terkadang menjerumuskan pelakunya ke dalam konflik eksternal antar-dengan pemeluk agama lain. Di Indonesia misalnya, kelompok Islam liberal berdebat sengit dengan barisan Islam tradisional. Kelompok Islam liberal mengklaim bahwa Islam tradisional adalah pemuja fundamentalisme. Padahal, jika diperhatikan dengan baik, Islam liberal pun, juga adalah penganut findamentalisme karena mereka juga menggunakan rujukan yang sama, kaku dan tidak kompromistis. Alhasil, tak ada satu golongan Islam pun di dunia ini yang bisa menolak bahwa mereka adalah penganut fundamentalisme.

Maka dari itu, agama yang disekularkan atau sekularisasi atas agama, adalah dua hal yang sama tidak menariknya. Agama yang masuk pada wilayah personal, selamanya takkan bisa dipaksakan di bawah dominasi pihak atau agama lain. Karena itulah, biarkan agama menjadi agama sebagaimana adanya, dan biarkan negara mengurus rakyatnya sesuai dengan peraturan yang telah menjadi konvensi bersama, yang akan terus berubah. Itulah bahayanya jika agama terserang penyakit secular. Ia akan terus diobarak-abrik dan menjauh dari Spirit utamanya. Sebab agama, mau tidak mau, adalah sebuah tuntunan untuk mengajak manusia kembali kepada Penciptanya, sesuai pernjanjian alast yang terjadi sejak zaman ‘azali. Meski untuk menuju ke sana, kita harus pula bisa hidup berdampingan secara harmonis dengan manusia lain, apapun agama yang dianutnya. Karena semua agama, adalah tempat di mana Tuhan bermanifestasi, dan manifestasi utama Tuhan itu adalah, manusia. []

Ciputat, januari tigasatu ribusembilan/1430

Pustaka rujukan:

–                      A. Segal, Robert (ed), The Blackwell Companion to The Study or Religion, United Kingdom::Blackwell Publishing, 2006.

–                      B. Lawrence, Bruce, Islam Tidak Tunggal, Jakarta: Serambi, 2004.

–                      C. Smith, Wilfred, Memburu Makna Agama, Bandung: Mizan, 2004.

–                      F. Haught, John, Perjumpaan Sains dan Agama, dari konflik ke dialog, Bandung: Mizan, 2004.

–                      Schuon, Fritjof, Mencari Titik Temu Agama-Agama, Jakarta: Pustaka Firdaus yang menerbitkan untuk Yayasan Buku Obor, 2003.

–                      Smith, Huton, Agama-Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Leave a comment