Sebuah Tanya pada Kita yang Mengaku Islam

Islam rahmatal lil alamin masih saja menjadi slogan. Didengungkan macam kata indah kampanye para politikus yang ingin memenangkan pemilu. Tiga buah kata yang ternyata begitu berat untuk diwujudkan, atau malah untuk dinampakkan saja demikian adanya, begitu susah. Tiap hari kita mendengar kata-kata ini diucapkan di tempat-tempat umat Islam biasa berkumpul. Bisa saja di masjid-masjid atau sebuah seminar mewah di sebuah hotel yang kebetulan membahas tema-tema keislaman. Dan sampai sekarang belum nampak bukti konkrit hal ini terwujudkan atau diupayakan untuk diwujudkan. Sekedar slogan atau kata-kata penghias bibir. Harus diakui bahwa kondisi umat Islam pada saat ini ada pada satu kondisi terbelakang, tidak maju-maju. Dan bagaimana bisa sebuah umat yang terbelakang dapat menjadi sebuah “komunitas” yang menjadi rahmat bagi sekalian alam. Diri sendiri saja belum menjadi umat yang dirahmati. Jika hal ini dilihat dalam konteks keindonesiaan, tentu gambaran semacam ini akan semakin jelas. Badan Statistik Nasional menujukkan bahwa 80 persen penduduk Indonesia adalah mereka yang beragama Islam. Jadi jika misalnya ada sepuluh penduduk Indonesia yang miskin, delapan di antarannya adalah umat Islam. Demikianpun jika misalnya ada seribu penduduk Indonesia yang membuang sampah sembarangan, maka 800 dari jumlah penduduk itu adalah umat Islam. Dengan begitu umat Islam Indonesia memang memiliki tanggung jawab besar terhadap maju-mundurnya negeri ini. Jelas bahwa umat Islam Indonesia memiliki kontribusi yang besar pada bangsa ini, hanya saja tergantung sisi positif atau negatifnya mana yang mau dipelihara. Tentu hal ini adalah sebuah keanehan dalam lingkup Indonesia. Dengan begitu banyak jumlah umat Islamnya, yang dengan jelas mengaku menjadi umat pilihan Tuhan atau bahkan menyatakan diri sebagai umat yang paling sempurna, tentu akan ada sebuah pertanyaan besar terkait hal ini. Ke manakah Islam yang rahmatal lil alamin itu ada, jika sampai saat ini umat Islam tetap saja masih terjajah mental dan spiritualnya? Kita yang mengaku umat Islam ini, belum dapat mengupayakan hal itu, apalagi mewujudkannya. Umat Islam dengan sejuta permasalahan yang tak pernah selesai. Begitu nampak karut marut. Indonesia nampak semakin terperosok dan tidak jelas nasib baiknya. Sekali lagi, Islam rahmatal lil alamin sekedar slogan. Umat Islam Indonesia seperti tak mampu menahan beban berat dari label indah ini—umat paling sempurna. Mungkin dalam hati kecil, kita menyangkal akan kelemahan ini, bahwa umat Islam adalah sebuah komunitas yang terpinggirkan dan terbelakang, serta hampir selalu terkalahkan dalam setiap bagian ruang kehidupan. Kita terlelap karena merasa paling sempurna! Ide-ide pembaruan Islam yang dimulai awal abad ke-20 cukup menggetarkan dunia Islam, namun tidak cukup menggerakkan umat Islam untuk berani menjadi diri mereka sendiri. Muslim rahmatal lil alamin. Pada umumnya, umat Islam menyalahkan ini dan itu untuk menjawab tantangan globalisasi dunia. Dan yang terparah menyerahkan segala sesuatu dan nasib mereka pada kemurahan Allah. Semakin tenggelam dalam kesendirian dan pola hubungan vertikal pada Tuhan mereka. Umat Islam menjadi tidak peka lagi akan realita dan masalah sosial. Kalaupun ada, untuk ke sekian kalinya hal itu hanya slogan untuk menarik perhatian. Kian hari umat Islam semakin nampak dikuasai dunia luaran mereka, menumbuhkan krisis identitas dalam diri mereka. Mereka nampak canggung dalam menghadapi kerasnya hidup. Dan kalau mau contoh konkritnya, kita dapat melihat betapa tidak ada korelasi antara status keberislaman seseorang di negeri ini dengan tingkah lakunya. Bukankah al-Amin adalah seorang muslim yang dari luar dikenal keshalehannya, dan ternyata dia terjerat kasus korupsi yang hingga kini masih ditangani KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Dan misalnya kalau mau melihat seberapa besar rasa peduli kita pada kemiskinan, kita dapat melihat seberapa banyak kebijakan negeri ini yang memihak pada orang-orang yang kurang beruntung nasibnya itu. Sejenak kita tinggalkan Indonesia, dan melanglang buana ke beberapa negeri lain yang lebih “beradab”. Di Belgia, yang mayoritas penduduknya Khatolik, ada sebuah kesepakatan menarik di antara warga satu sama lain. Tiap kali ada seseorang yang ingin membangun rumah, terlebih dahulu harus ada musyawarah terlebih dahulu di antara mereka. Hal itu ditujukan agar rumah yang dibangun nantinya tidak membuat tetangga merasa dirugikan, untuk mendapatkan cahaya matahari sekalipun. Dan kalau mau melihat kanal-kanal di Eropa, Venecia mungkin tempat yang menarik untuk dijadikan rujukan, Jerman dengan sungai Rein-nya juga boleh. Jangan bayangkan sungai-sungai di sana penuh sampah, kotor, bau, dan menandakan kekumuhan. Adanya hanya bersih, bersih, dan nyaman dilihat. Apakah ini yang dinamakan spirit yang digambarkan Islam itu? Nilai-nilai dan budaya yang rahmatal lil alamin? Memanusiakan manusia, meng-alam-kan alam. Di mana prinsip keadilan, kasih sayang, rahmat bagi alam, yang begitu kita kenal ada dalam dunia Islam ternyata kita dapatkan dan telah mengakar di dunia yang dihuni orang-orang non-Islam. Kembali ke negeri sendiri, ketika di sana ada spirit yang telah lama mengakar dan terus tumbuh bersama hadir di tengah masyarakat, di sini kita hanya bicara teori dan dengan bangga mengatakan mana yang sempurna dan mana yang terbaik untuk dunia. Tanpa sadar kita melemahkan Islam. Prinsip keadilan dan rasa peduli kita telah tergerus dengan semangat individualitas yang tanpa sadar menguasai kita. Ketamakan dan kurangnya rasa syukur menghalangi kita untuk dapat berbagi dan menjaga apa yang dititipkan pada kita. Mungkin masyarakat Eropa adalah individual-nya individualis, tetapi mereka dengan jujur menyatakan bahwa mereka adalah individualis, dan karena tidak ingin dirugikan satu sama lain, mereka menciptakan prinsip keadilan yang sesuai dengan logika mereka. Sedang kita? Mungkin begitu munafik untuk mengatakan bahwa “saya” adalah seorang individualis. Lalu, di manakah Islam rahmatal lil alamin yang sering kita dengar itu? Mungkin menjadi topeng kemunafikan kita.

Sumber: Suratkita Online

4 thoughts on “Sebuah Tanya pada Kita yang Mengaku Islam

  1. Sebenarnya Islam sangat maju, namun umat Islam banyak yang tidak tahu diri. buktinya umat Islam banyak sekali yang menerjang dan menghalalkan segala cara untuk kepentingan dirinya.

    • Islam maju?
      di lihat sebagai apa?
      Dari sisi mana?
      Islam yang mana?
      Ada banyak rupa Islam di dunia….bisakah bisa dilihat satu warna doank…?

Leave a reply to bintangtimur Cancel reply